Cerita ini benar-benar terjadi, tanpa ada rekayasa.
Saat itu, saya masih berusia 8 tahun. Saya sedang menghadiri acara keluarga besar di Padang, Sumatra Barat. Sebagai anak kecil yang energik, saya sangat antusias untuk bermain dan bercengkrama dengan keluarga. Ini adalah pertama kalinya saya berkumpul dengan keluarga yang begitu besar, dan setiap momen dipenuhi tawa serta kehangatan.
Kami semua—om, tante, nenek, orang tua, kakak, sepupu, dan keponakan—berkumpul di ruang keluarga yang luas, cukup besar untuk menampung semuanya. Namun, di tengah keceriaan itu, om saya, seperti kebanyakan bapak-bapak, suka menggoda kami anak-anak. Suatu malam, dia berkata sambil setengah berbisik, “Tahukah kalian? Ruang ini dulu adalah kamar tidur buyutmu. Dia sudah meninggal jauh sebelum kamu lahir. Di sana masih ada peninggalannya... buku, baju, dan... gigi palsu.”
Gigi palsu? Untuk apa masih disimpan? pikiran saya saat itu. Keluarga sebenarnya ingin membuang barang-barang tersebut, tapi ada satu anggota keluarga yang bersikeras menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Saya merasa aneh, tapi memutuskan untuk mengabaikannya.
Malam itu, setelah semua orang siap tidur, saya yang masih kecil memutuskan tidur lebih awal di ruang keluarga yang luas. Saya mendengar suara obrolan om dan tante saya dari kejauhan, namun kantuk segera membawa saya ke dalam tidur.
Pukul 2 dini hari, saya terbangun dengan tiba-tiba. Ruangan terasa begitu sunyi, dan semua orang sudah tertidur. Saya yang tidur di samping nenek, melihat sekeliling. Tiba-tiba, lampu padam secara mendadak, membuat ruangan terbenam dalam kegelapan pekat. Saya bahkan tidak bisa melihat tangan saya sendiri.
Selama beberapa saat, saya hanya duduk terpaku, menunggu mata saya menyesuaikan diri. Setelah beberapa menit, saya mulai bisa melihat samar-samar dalam kegelapan. Saya melirik ke kanan dan ke kiri, berharap ada yang terbangun. Namun, saat saya memutar kepala, saya melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada. Tepat di belakang saya, sekitar lima jengkal dari tempat tidur saya, ada seorang anak kecil. Dia duduk, tersenyum lebar, dan menyilangkan kakinya, menatap lurus ke arah saya.
Saya merasa lega, mengira itu salah satu sepupu saya yang terbangun. Tanpa berpikir panjang, saya bertanya, "Kamu tahu cara menyalakan lampu ini?" Namun, anak itu hanya diam, tetap tersenyum dengan pandangan yang tidak bergeming.
Rasa dingin mulai menjalari tubuh saya, tapi saya berusaha mengabaikannya. Saya mencoba bertanya lagi, kali ini sambil berusaha menepuk pundaknya. "Kamu bisa bantu—" kata saya terhenti. Saat tangan saya hampir menyentuhnya, saya merasakan sesuatu yang mengerikan: tidak ada apa-apa di sana. Tangan saya menembus udara kosong.
Rasa takut mulai melumpuhkan saya. Anak itu tetap duduk di sana, tersenyum, namun sekarang saya sadar, dia bukan manusia. Nafas saya mulai pendek, tangan saya gemetar. Saya menarik selimut, menutupi tubuh saya, berusaha bersembunyi di balik nenek. Saya menggoyang-goyangkan tubuh nenek, mencoba membangunkannya, tapi tidak ada respon. Seolah-olah nenek terlelap dalam tidur yang terlalu dalam.
Lima menit berlalu, dan saya mendengar suara samar, seperti bisikan di belakang telinga saya, tapi saya tidak berani membuka mata. Setelah mengumpulkan keberanian, saya perlahan membuka selimut, berharap semuanya sudah hilang.
Namun, pemandangan yang saya temui membuat jantung saya hampir berhenti. Anak itu sudah berdiri tepat di samping saya, tersenyum lebar dengan mata yang sekarang kosong, seperti lubang hitam yang dalam. Lampu tiba-tiba menyala kembali, dan dalam sekejap, dia menghilang.
Keesokan paginya, saya menceritakan semuanya kepada keluarga. Mereka menertawakan saya, menganggap saya hanya berhalusinasi karena nonton film horor terlalu banyak. Tapi, saya tahu apa yang saya lihat. Itu bukan imajinasi.
Sorenya, seorang nenek tetangga datang dan dengan nada tenang bertanya, "Kamu melihatnya juga, ya?" Saya terdiam, bulu kuduk berdiri. "Nenek sering melihat dia. Dia memang suka berjalan-jalan di malam hari, mengawasi... dan menunggu."
Comments
Post a Comment