Lebih dari 60 tahun yang lalu di sebuah kampung yang jauh dari pusat perkotaan, sekumpulan anak bermain di halaman sebuah rumah kosong. Halaman yang luas dan jauh dari rumah tetangga dan dikelilingi rimbunnya kebun warga memungkinkan anak-anak berusia sekolah dasar itu bermain dengan leluasa. Entah berapa jumlah tepatnya tetapi rata-rata mereka merupakan teman seumur. Hanya ada satu anak kecil yang berusia sekitar 2-3 tahun yang ikut bermain walaupun lebih banyak duduk dan memperhatikan kakak-kakaknya.
Seorang anak menghentikan permainan dan mengajak teman-temannya untuk melakukan sebuah permainan pura-pura. Sebuah permainan yang sangat biasa dilakukan oleh anak-anak yang belum bisa menjadi apa-apa tetapi merasa tertarik dengan kegiatan orang dewasa. Biasanya anak-anak memainkan peran sebagai pedagang pasar, guru dan murid di sekolah, hingga dokter di rumah sakit. Kali ini anak mereka memilih untuk melakukan adegan pesta pernikahan.
Di sinilah awal mula tragedi itu terjadi.
Anak-anak mulai memainkan perannya. Mari kita bayangkan sebuah persiapan untuk menggelar sebuah pesta pernikahan. Kedua mempelai pengantin sedang dirias dan diberi doa oleh para tetua. Sementara para tetangga menyiapkan rumah dan memasak. Musik mengalun dari pengeras suara, menjadikan semuanya bersuka cita dan larut dalam kesibukan.
Orang-orang tampak sibuk membawa bahan makanan, menyiapkan kursi, menghias pelaminan, memotong ayam, dan lain sebagainya. Meski begitu, suasana tampak cair dan hangat karena warga bekerja diiringi oleh gelak tawa. Mereka secara sukarela mengerjakan apa yang bisa mereka kerjakan untuk membantu pengantin agar bisa berbahagia untuk menyambut kehidupan baru.
Tibalah seseorang berteriak dan memberikan sebuah gagasan. “Ada yang kurang! Kita butuh seekor kambing untuk disembelih.”
“Benar! Tradisi pernikahan kita akan terasa kurang jika tidak ada kambing,” sahut yang lainnya.
Orang tua pengantin menunjuk ke sebuah area kandang kambing dan sapi. “Ambilah di sana. Cari kambing yang paling sehat. Lalu mari kita sembelih bersama-sama.”
Seorang warga mulai mengikat seekor kambing dan membawanya ke halaman rumah. Yang lain mempersiapkan golok dan bersiap untuk mengikat kaki kambing agar mudah mereka jatuhkan. Kambing malang itu menggeliat karena merasa tidak nyaman. Tetapi hewan itu kalah jumlah dan tenaga. Ia semakin berontak dan berteriak ketakutan ketika melihat sebuah golok tajam di depan matanya yang siap untuk memotong nadi di lehernya.
Penjagal membacakan doa dan perlahan-lahan menggorok sang kambing. Suara teriakan kencang hewan malang tersebut berubah menjadi lebih pelan, seiring dengan lepasnya roh dari raganya. Matanya menatap nyalang kepada semua yang hadir. Kambing yang sekarat itu kejang-kejang kesakitan dan mulai mengeluarkan suara yang mengerikan. Kematian datang pada kambing berusia dua tahun itu.
Berbanding terbalik dengan kengerian itu, para warga bersorak dan mulai membayangkan gulai kambing yang akan tersedia di prasmanan pernikahan. Mereka bersiap untuk menguliti sang kambing dan membersihkan jeroannya. Seseorang mulai merobek baju hewan tersebut dan membedah perut kambing.
Tapi … tunggu dulu.
‘Sejak kapan kambing mengenakan pakaian?’ pikir orang tersebut. Ia termenung hingga akhirnya kembali kepada kesadarannya setelah salah seorang anak berteriak histeris.
Suara-suara teriakan mulai terdengar dari setiap manusia yang ada di sana. Mereka mundur menjauhi darah merah yang menggenang di atas tanah, menatap ngeri pada seonggok daging yang berbalut pakaian dan pisau tajam yang mereka bawa untuk bermain masak-masakan yang juga berlumuran darah. Suasana mencekam mulai menyelimuti halaman rumah kosong tersebut.
Seorang anak kecil yang berpura-pura menjadi kambing telah dikorbankan untuk pesta pernikahan pura-pura mereka. Keadaan yang semula suka cita berubah menjadi duka dan teror mengerikan. Semua anak berlari ke sembarang arah. Rasa takut dan ngeri menjalar di sekujur tubuh mereka.
Seorang peternak yang sedang mencari rumput tak jauh dari rumah kosong tersebut mendengar teriakan histeris anak-anak. Ia kemudian bergegas mendekati sumber suara dan kaget melihat anak-anak berlarian dengan noda merah di baju mereka. Peternak itu lebih kaget ketika menemukan mayat anak kecil dengan kepala nyaris putus dan bersimbah darah.
Sebuah permainan pura-pura telah memakan korban. Entah karena terlalu larut dalam permainan atau terkena pengaruh makhluk halus dari rumah kosong tersebut, anak-anak tidak menyadari bahwa mereka telah membunuh anak yang paling kecil yang berperan sebagai kambing. Tidak ada yang tahu alasannya, tidak ada yang pernah ada yang mau mengingatnya. Semua warga kampung mengubur ingatan kelam itu di tempat yang paling dasar dan gelap yang tak akan pernah bisa ditemukan oleh siapa pun. Menjadikan kejadian ini sebagai misteri yang akan dibawa sampai mati.
Fin.
***
Kisah ini saya tulis berdasarkan cerita bapak saya yang pernah beliau dengar ketika kecil dulu. Bapak percaya cerita ini benar adanya tapi tidak yakin ada di daerah mana. Yang pasti ini terjadi di dekat rumah saya di kota G.
Comments
Post a Comment